Rekonstruksi Peristiwa Penyobekan Bendera di Hotel
Yamato
Berita akan mendaratnya Tentara Sekutu tanggal 25
Oktober 1945 di Surabaya dikawatkan pertama oleh Menteri Penerangan Amir
Syarifuddin dari Jakarta. Dalam berita tersebut menteri menjelaskan tugas
Tentara Sekutu di Indonesia, yaitu mengangkut orang Jepang yang sudah kalah
perang, dan para orang asing yang ditawan pada zaman Jepang. Menteri berpesan
agar pemerintah daerah di Surabaya
menerima baik dan membantu tugas Tentara Sekutu tersebut.
Sikap politik pemerintah pusat tersebut sulit diterima rakyat Surabaya pada umumnya. Rakyat Surabaya
mencurigai kedatangan Inggris sebagai usaha membantu mengembalikan kolonialisme
Belanda di Indonesia. Kasus Kolonel P.J.G. Huijer, perwira Tentara Sekutu
berkebangsaan Belanda, menjadi salah satu alasannya kecurigaan itu. Kolonel
P.J.G. Huijer yang datang di Surabaya pertama kali pada tanggal 23 September
sebagai utusan Laksamana Pertama Patterson, Pimpinan Angkatan Laut Sekutu di
Asia Tenggara, ternyata membawa misi rahasia pula dari pimpinan Tertinggi
Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Huijer yang bersikap dan bertindak
terang-terangan menentang revolusi Indonesia
akhirnya ditangkap dan ditawan di Kalisosok oleh aparat keamanan Indonesia.
Hari menjelang datangnya tentara Inggris di Surabaya, Drg. Moesopo yang
sementara itu telah mengangkat diri menjadi Menteri Pertahanan RI, berseru pada
rakyat Surabaya, agar bersiap siaga menghadapi kedatangan pasukan Inggris.
Dengan mengendarai mobil terbuka dan pedang terhunus di tangan, ia
berteriak-teriak di sepanjang jalan, menyadarkan rakyat atas bahaya yang sedang
mengancam. Dalam pidato radionya pada malam harinya, secara khusus Moestopo memperingatkan
secara keras pada tentara Inggris dan NICA (Netherlands Indies Civil
Administration, Pemerintah Penjajahan Belanda atas Indonesia di pengungsian
ketika Jepang menduduki Indonesia, dan merencanakan kembali menjajah Indonesia
lagi setelah bubar perang) ~ diucapkan “Nika” ~ agar mereka jangan mendarat di
Surabaya. “Inggris! Nika! Jangan mendarat! Kalian orang terpelajar! Tahu
aturan! Jangan mendarat! Jangan mendarat!” pidatonya di radio begitu terus.
Beberapa jam setelah kapal Inggris merapat di Tanjung Perak, dua orang perwira
staf Mallaby (komandan pasukan Inggris) menemui Gubernur Soerjo. Utusan Mallaby
itu mengundang Gubernur Soerjo dan seorang wakil BKR agar bertemu dengan
Mallaby di kapal untuk berunding. Undangan itu ditolak karena sebagai pejabat
baru Gubernur Soerjo sedang memimpin rapat kerja pertama. Dalam rapat kilat
yang diadakan kemudian, diputuskan untuk memberi mandat kepada Drg. Moestopo
pimpinan BKR untuk berunding dengan pihak Inggris dan bertindak atas nama
Pemerintah Jawa Timur.
Pertemuan Mallaby dengan Moestopo yang didampingi dr. Soegiri, pejuang Surabaya yang sangat
aktif, Moh. Jasin, pimpinan Polisi Istimewa serta Bung Tomo, belum menghasilkan
kesepakatan. Perundingan dilanjutkan 26 Oktober esoknya di gedung Kayoon ex
gedung Konsulat Inggris. Pertemuan tersebut dihadiri Residen Soedirman, Ketua
KNI Doel Arnowo, Walikota Radjamin Nasution dan HR Mohammad Mangundiprojo dari
TKR (TKR = Tentara Keamanan Rakyat, resmi dibentuk tanggal 5 Oktober 1945,
sebelumnya bernama BKR, Badan Keamanan Rakyat). Menghasilkan perjanjian, dalam
pasukan Inggris yang mendarat tidak disusupi pasukan Belanda, tercapai
bekerjasama Indonesia-Tentara Sekutu dengan membentuk Kontact Bureau, yang akan
dilucuti senjatanya hanyalah Jepang saja, sedang pengawasan dipegang oleh
tentara Sekutu, dan selanjutnya tentara Jepang itu akan dipindahkan ke luar
Jawa.
Sesuai dengan kesepakatan tersebut, pasukan Inggris diperkenankan menggunakan
beberapa gedung penting di kota,
seperti gedung Kayoon digunakan sebagai Markas Brigade 49 (Inggris), gedung HBS
(sekolah kompleks Jl. Wijaya Kusuma), gedung Internatio, Rumah Sakit Darmo
tempat para tawanan perang dan interniran dirawat, masing-masing ditempatkan
satu batalyon pasukan Inggris. Dalam gerakan menduduki tempat yang disetujui
itu Inggris selanjutnya juga menduduki sejumlah tempat strategis di luar
perjanjian, seperti lapangan terbang Tanjung Perak, perusahaan listrik
Gemblongan, Stasiun KA, Kantor Pos Besar, Gedung Studio Radio di Simpang. Lebih
kurangajar lagi, malam itu Moestopo disergap, dipaksa menunjukkan di mana
Kolonel PG Huijer ditawan, yang berakhir dengan penyerbuan pasukan Inggris ke
penjara Kalisosok dan membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan pemuda.
Inggris juga melucuti kesatuan Polisi RI Seksi Bubutan dan Nyamplungan.
Esok harinya, 27 Oktober, pesawat Inggris menyebarkan pamflet, isinya menuntut
dan mengancam, agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali kepada
Inggris senjata dan peralatan perang mereka yang direbut dari tentara Jepang.
Residen Soedirman dan drg. Moestopo segera memperingatkan Brigjen Mallaby,
bahwa isi pamflet itu jelas bertentangan dengan perjanjian yang telah disetujui
bersama. Rupanya Brigjen Mallaby sendiri juga tak tahu-menahu dengan pamflet
yang berasal dari Markas Besar Tentara Inggris di Jakarta itu. Tetapi sebagai
tentara harus tunduk pada putusan atasan.
Suasana panas Surabaya
mencapai klimaksnya pada tanggal 28 Oktober 1945. Pada hari itu sekitar jam
17.00, di Markas Pertahanan Jl. Mawar 10, markas dan sekaligus tempat Studio
Radio Pemberontakan pimpinan Bung Tomo, diselenggarakan pertemuan antara
sejumlah pimpinan pasukan BKR dan pemimpin Badan Perjuangan Bersenjata. Dari
pihak BKR yang hadir HR Mohammad Mangundiprojo, Sutopo dan Katamhadi, ketiganya
ex Daidancho Peta. Dari Badan Perjuangan Bersenjata yang hadir antara lain
Soemarsono dari PRI (markas besarnya di Balai Pemuda), Bung Tomo dari BPRI.
Putusan rapat mereka tidak mentolerir tindakan provokatif tentara Inggris.
Mereka sepakat untuk segera melancarkan serangan terhadap kedudukan Inggris
dengan perhitungan mumpung pasukan Inggris saat itu masih lemah, menduduki
tempat yang terpencar-pencar.
“Om 5 uur begint de Indonesische opstand!”
(Pada jam 05.00 mulailah perlawanan bangsa Indonesia), demikian bunyi kebulatan
tekad mereka.
Sore itu juga, Soemarsono melalui radio pemberontakan di Jl. Mawar 10
mengumumkan kebulatan tekad tersebut. Dalam pidato radionya ia antara lain
menyatakan bahwa, “Tentara Inggris yang berkedok sebagai Tentara Sekutu itu
sebenarnya adalah tentara penjajah yang membantu NICA untuk menghancurkan
kemerdekaan bangsa Indonesia,
karenanya harus dilawan!” Pidato Soemarsono segera disusul oleh pidato Bung
Tomo yang sebagai orator ulung ia berhasil membakar semangat rakyat Surabaya khususnya dan rakyat Indonesia umumnya, untuk melawan
tentara Inggris dan Belanda.
Sore hari itu Surabaya seperti kota mati. Jalan-jalan sunyi mencekam,
menantikan datangnya badai pertempuran. Kesatuan TKR, atas perintah Moestopo
dan Jososewojo, sejak tengah hari telah ditarik keluar kota, mempersiapkan lini kedua di Sepanjang
mereka akan melaksanakan perang rahasia dan perang gerilya seperti yang
diinstruksikan oleh Moestopo. Tetapi ketika pada malam harinya pertempuran
pecah, mereka bergerak kembali ke kota.
Malam hari itu, tempat atau gedung yang diduduki oleh tentara Inggris, dikepung
oleh rakyat Surabaya,
seperti ceceran gula pasir dikerubungi semut. Pengepungan berlanjut sampai tiga
hari. Pasukan Inggris yang terkepung, tidak bisa bergerak dari tempatnya, tidak
bisa minta bantuan dari tempat lain, kehabisan peluru, air dan makanan.
Bertahan pasti hancur, keluar tidak mungkin, pasti dihadang oleh rakyat Surabaya bersenjata
sepanjang jalan. Rakyat Surabaya saat itu semangatnya bertempur berkobar-kobar,
tidak perduli senjata apa saja yang bisa digunakan untuk melawan pasukan
Inggris, senpi atau senjam. Bandha nekad! (bonek). Ada yang baru hari itu memiliki senapan, baru
jam itu belajar menembak. Lalu kemaruk menembakkan senjata apinya. Sampai ada
tentara Inggris yang jelas mati terapung di sungai, tetap saja diberondong
peluru untuk latihan menembak tepat sasaran.
Melihat pasukannya tak berkutik akan hancur, Brigjen Mallaby panik. Dia harus
bisa mencegah kehancuran semesta itu. Harus dicarikan pemimpin Indonesia yang masih dipatuhi oleh rakyat Surabaya. Siapa? Presiden RI,
Bung Karno. Mallaby minta agar Presiden RI didatangkan di Surabaya.
Dengan permintaan itu, tentara Inggris yang semula tidak mengakui adanya negara
Republik Indonesia,
jadi mengakui kedaulatan RI. Presiden Soekarno bersama Wakil Presiden Mohamad
Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin terbang ke Surabaya 29 Oktober
1945 dengan pesawat RAF. Lapangan terbang Morokrembangan juga dikepung oleh
rakyat Surabaya.
Karena sudah tidak percaya lagi dengan omongan orang Inggris, maka Bung Tomo
memerintahkan kalau yang turun bukan Bung Karno, ditembak mati saja.
Sejak pecahnya pergolakan merebut senjata Jepang (30 September 1945) dan
disusul dengan pendaratan Tentara Sekutu, Moestopolah orang yang paling
menonjol dan memikul tanggung jawab revolusi di Surabaya. Dialah orang pertama yang
berhadapan dan membuat perjanjian serah-terima kekuasaan sekali gus perlucutan
seluruh senjata Jepang dari Mayor Jendral Iwabe Syigeo selaku Panglima AD
Jepang di Jawa Timur di Gedung HVA, (sekarang Jl. Merak), 30 September 1945.
Ketika Tentara Sekutu mendarat di Surabaya,
Moestopo pulalah orang pertama yang menghadapinya. Kecuali berunding yang
menghasilkan keputusan yang sulit, dia juga telah merasakan pemaksaan yang
kontra dengan hasil perjanjian. Moestopo menghadapi persoalan yang dilematis,
yaitu menghadapi tekanan dari dua kubu yang saling bertentangan. Tekanan
pertama adalah pesan dari Pemerintah Pusat RI di Jakarta, yang meminta
kepadanya, demi kepentingan politik, agar menerima dengan baik kedatangan
Tentara Sekutu di Surabaya. Sedangkan tekanan kedua adalah datang dari rakyat Surabaya, yang cenderung
menentang pendaratan Tentara Sekutu di Surabaya. Di mata pemuda Surabaya,
Inggris dan Belanda adalah dua negara Sekutu yang sama-sama imperialis,
karenanya mereka mencurigai Inggris bersekongkol dengan Belanda untuk
mengembalikan penjajahan di Indonesia. Tekanan mental lebih berat ketika
Inggris pada 28 Oktober mengultimatum agar rakyat Surabaya menyerahkan kembali senjata yang
telah diperolehnya dari Jepang.
Menanggapi ultimatum itu Moestopo memerintahkan kepada BKR/TKR untuk segera
bergerak ke luar kota.
Sesuai dengan perintah Moestopo (pemimpin TKR Jatim), Jonosewojo (pemimpin TKR
Karesidenan Surabaya) memindahkan pasukannya ke selatan, ke Darmo dan kemudian
ke Ketegan di luar kota, tapi kemudian kembali masuk lagi ke Gunungsari. Banyak
pihak yang tak setuju dengan taktik Moestopo tersebut. Bahkan Soengkono,
pemimpin BKR Kota Surabaya, tetap bertahan di Kota
Surabaya.
Soengkono tetap menyebut kesatuannya BKR Kota Surabaya, bukan TKR.
Akibat kelelahan fisik yang berkepanjangan dan tekanan mental yang berat, pada
malam 28 Oktober Moestopo menderita mental break down. Perbuatannya aneh. Malam
itu Moestopo menanggalkan pakaian seragam militernya dan menggantinya dengan
pakaian rakyat, berbaju dan bercelana panjang hitam gaya Madura, berselempangkan sarung dan
mengenakan ikat kepala. Dengan penyamarannya itu Moestopo mau melaksanakan
konsep strategi perangnya yang dalam bahasa Jerpang disebut Himizhu Zensosen
dan Singei-se, artinya perang rahasia dan perang gerilya kota. Setelah mengadakan rapat di markasnya
di gedung HVA, Moestopo kemudian bergerak ke luar kota. Ia mengendarai mobil bersama Sudibyo,
mahasiswa kedokteran gigi. (Selain jadi Daidanco PETA di Gresik, Moestopo juga
jadi dosen pada Fakultas Kedokteran Gigi = Shika Daigakku Surabaya, karena itu
banyak sekali mahasiswanya yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan di Surabaya ini). Di tengah
perjalanan ia mampir dahulu ke Markas PRI (Balai Pemuda), untuk menjelaskan
rencana perannya dan mengajak para pemuda PRI meninggalkan kota, sebab Inggris
akan melucuti senjata mereka, ujarnya.
Di Wonocolo, Moestopo bertemu dengan dua orang wartawan Surabaya, Wiwiek
Hidayat dan Suleimanhadi, kedua wartawan itu lalu diajak turut serta memeriksa
kesiapan perang di sekitar Surabaya.
Mereka berempat mengendarai mobil sedan hitam de Soto, dengan Moestopo sendiri yang
mengemudikannya. Di tengah malam buta itu Moestopo mengebut melalui jalan
pedesaan menuju Sidoarjo dan kemudian bermaksud menuju Gresik dengan melewati
jalan Sidoarjo-Krian-Balungbendo-Mojokerto. Di setiap pos penjagaan, bila
kendaraan Moestopo disetop untuk diperiksa ia kadang-kadang menjelaskan
identitas dirinya, bukan saja sebagai pimpinan TKR dan Menteri Pertahanan RI,
tetapi juga menyebut dirinya sebagai “Ratu Adil”.
Sekitar jam 02.00 tengah malam, mereka tiba di Markasnya Marhadi, komandan
BKR/TKR di Mojokerto. Karena kecapekan, di tempat tersebut mereka langsung
jatuh tertidur. Di saat mereka tidur lelap itulah mendadak mereka disergap oleh
satu kesatuan bersenjata yang tak dikenal. Mereka termasuk Moestopo, dengan
tangan diborgol dinaikkan truk, lalu dibawa ke bekas Pabrik Gula Brangkal. Esok
harinya barulah mereka tahu, bahwa yang menawan mereka itu adalah anak buah
Mayor Sabarudin, PTKR Sidoarjo. Hari itu mereka dijemput sendiri oleh Mayor
Sabarudin, dan dengan mata tertutup mereka lalu dibawa ke markas Sabarudin di
Sidoarjo.
Di tempat terpisah Sabarudin menemui Wiwiek Hidayat dan Suleimanhadi. Sabarudin
mengatakan, bahwa kedua wartawan itu boleh bebas kembali ke Surabaya, tetapi bersama itu ia mengancam,
dengan pistol dimain-mainkan di tangan, agar mereka jangan sampai membocorkan
rahasia ditawannya Moestopo tersebut. Bila sampai bocor, mereka bersama
keluarganya akan dihabisi.
Kepada Moestopo Sabarudin berterus terang bahwa dia diperintahkan oleh
atasannya untuk menangkap dan membunuh Moestopo. Tetapi karena di masa Peta
dahulu selaku anak buah Moestopo ia pernah diselamatkan jiwanya dari kekejaman
Jepang, maka ia tak akan membunuh Moestopo.
Kisah tentang diri Sabarudin ini sungguh sangat menarik. Yang dimaksud
atasannya, mungkin sekali Jonosewoyo, karena Sidoarjo adalah kekuasaan pemimpin
TKR Karesidenan Surabaya, Jonosewojo. Apalagi kemudian hari, ketika terjadi
perebutan jabatan militer di Jawa Timur antara Jonosewoyo dengan HR Mohamad
Mangundiprojo, Sabarudin membela mati-matian Jonosewojo, menculik dan membantai
HR Mohamad dari Jogja sampai di Kertosono (peristiwa 1946). Sabarudin juga
terkenal kejam, memancung leher bekas saingannya ex-chudancho Soerjo secara
terbuka di alun-alun Sidoarjo. Ex-chudancho Soerjo waktu itu jadi staf keuangan
TKR Jatim pimpinan Moestopo.
Dua hari ditawan Sabarudin, pada tanggal 30 Oktober dengan dikawal oleh Kapten
Hamidun, Kepala Stafnya Sabarudin, Moestopo diantarkan menghadiri rapat
pertemuan dengan Presiden Soekarno di Gubernuran Surabaya yang dihadiri oleh
Bung Hatta dan para pejabat tinggi di Surabaya. Waktu itu seruan berhenti
tembak-menembak sudah disiarkan. Bung Hatta menganggap Moestopo sebagai biang
kerok pergolakan bersenjata melawan Tentara Sekutu di Surabaya. Oleh Presiden
Moestopo mulai saat itu dipensiun dan selanjutnya diangkat menjadi Penasihat
Agung Presiden RI. Dengan begitu berakhirlah peran Moestopo
selaku pimpinan tertinggi TKR di Jawa Timur. Secara hirarkhis, orang kedua
Urusan Angkatan Darat, HR Mohamad Mangundiprojo menggantikan kedudukan
Moestopo, bersama Soengkono mewakili TKR dalam forum perundingan dengan pihak
Inggris. Moestopo yang membikin gara-gara pergolakan pertempuran tiga hari (28,
29, 30 Oktober 1945) yang arek-arek Surabaya
bisa melumpuhkan pasukan Inggris, tetapi Moestopo sendiri tidak ikut bertempur,
karena ditawan oleh Sabarudin. Buntut pertempuran tiga hari adalah tewasnya
Mallaby yang berlanjut dengan pertempuran 10 November 1945 yang hasilnya
Indonesia Merdeka akibat gigihnya perlawanan bersenjata, tetapi Moestopo juga
tidak terlibat pertempuran karena sudah dipensiun. Ini salah satu gambaran
bahwa potensi lokal menjadi tak berdaya karena beda pandang dengan pusat
pemerintahan.
Setelah Mayor Jendral D. Hawthorn, Panglima Tentara Sekutu di Indonesia tiba di
Surabaya hari itu (30 Oktober), maka perundingan
dengan pihak Inggris dilanjutkan lagi di Gubernuran Surabaya. Hadir dalam perundingan itu selain
Presiden, Wakil Presiden dan Menteri Penerangan RI, juga para tokoh pimpinan
Surabaya seperti Gubernur Soerjo, Residen Soedirman, Doel Arnowo, Roeslan
Abdulgani, HR Mohamad, Soengkono, Atmadji, Soemarsono dan Bung Tomo.
Perundingan tersebut menghasilkan persetujuan, inti isinya adalah Inggris
membatalkan perintah untuk melucuti senjata TKR dan pemuda, Inggris mengakui
status TKR, Tentera Sekutu akan ditarik dari gedung-gedung yang diduduki, dan
akan terpusat di Tanjung Perak dan kamp tawanan perang di Darmo, Daerah
pelabuhan Tanjung Perak akan dijaga Tentara Sekutu dan TKR, Hubungan antara
Darmo dan Tanjung Perak harus terjamin aman untuk mengangkuti tawanan (truknya
pasukan Inggris), Kedua pihak mempertukarkan para tawanan, Dibentuk badan
penghubung (Kontak Biro) antara Tentera Sekutu dan penguasa Surabaya. Susunan
anggota Kontak Biro pihak Indonesia: Residen Soedirman, Doel Arnowo (KNI),
Roeslan Abdulgani (KNI), HR Mohamad Mangundiprojo (TKR), Soengkono (BKR),
Armadji (TKR Laut), Soejono (Polisi RI), Kusnandar (PRI), TD Kundan
(penterjemah). Pihak Inggris: Brigjen A.W.Mallaby, Kolonel L.H.O.Pugh, Mayor
M.Hobson, Kapten H.Shaw, dan Wing Comander Groom.
Setelah dicapainya persetujuan tadi, rombongan presiden dan Mayjen Hawthorn,
siang itu juga (30 Oktober) kembali ke Jakarta, sedang anggota Kontak Biro
melanjutkan rapat di kantor Gubernuran hingga jam 16.00. Karena di beberapa
tempat masih terjadi tembak-menembak, Kontak Biro memutuskan untuk mengadakan
perjalanan keliling guna menghentikan pihak-pihak yang masih saling menembak.
Rombongan mengendarai sejumlah mobil disertai sebuah mobil polisi RI sebagai
pengawal di mukanya. Perjalanan Kontak Biro sampai di gedung Internatio, di
Jembatan Merah. Tembak-menembak bisa dihentikan setelah Mallaby bicara dengan
komandan pasukan Inggris di depan gedung (tidak masuk gedung). Ketika rombongan
meninggalkan gedung, matahari mulai terbenam, sampai di mulut Jembatan Merah,
rakyat Surabaya
tetap minta supaya tentara Inggris di gedung Internatio meninggalkan gedung.
Maka dikirim utusan ke gedung, menyeberangi lapangan segi tiga. Dari pihak
Inggris Kapten Shaw, pihak RI HR. Mohamad Mangundiprojo serta penterjemah TD
Kundan. Brigjen Mallaby tetap menunggu di mobil hitam yang dikendarai oleh Residen
Soedirman di mulut Jembatan Merah. Ketika utusan beberapa menit masuk ke
gedung, terdengar tembakan dari dalam gedung. Maka ramailah kembali
tembak-menembak antara rakyat Surabaya
yang masih mengurung gedung dengan pihak Inggris yang di dalam gedung. Terkena
hujan peluru, para anggota Kontak Biro Indonesia lari tunggang langgang
meninggalkan tempat, ada yang menceburkan diri ke sungai, mencari selamat.
Keesokan harinya tersiar kabar bahwa Brigjen Mallaby tewas tertembak di dalam
mobil hitam. Tewasnya seorang brigadir jendral di kancah pertempuran di Surabaya, tentulah tidak
direlakan begitu saja oleh Pasukan Inggris. Tentu akan ada pembalasan. Maka
pada tanggal 3 November 1945 dikirimkanlah satu divisi lebih bantuan pasukan
Inggris didaratkan di Surabaya
lengkap dengan panser, tank, meriam dan pesawat terbangnya. Sebagai panglima
pasukan yang baru di Surabaya
adalah Mayor Jendral Mansergh. Tanggal 7 November, Mansergh mengundang Gubernur
Soerjo, memperkenalkan diri di Bataviaweg (Jalan Jakarta). Sikap Mansergh kaku,
sombong, ucapannya terang-terangan menyalahkan dan menghina para pemimpin Indonesia.
Langsung membacakan surat
yang diterjemahkan oleh TD Kundan. Jelas sekali kedatangan Mansergh untuk
membalas dendam. Esok harinya 8 November, Gubernur Soerjo kembali menerima
sepucuk surat dari Mayjen Mansergh, yang lebih serius menuduh pimpinan Surabaya
tidak mampu menepati janji persetujuannya, maka tentaranya (Inggris) akan
memasuki Surabaya dan sekitarnya, demikian juga daerah lain Jawa Timur untuk
melucuti “gerombolan yang tidak mengenal aturan tertib hukum”.
Dalam surat
jawabannya tertanggal 9 November 1945 Gubernur Soerjo membantah segala tuduhan
Mansergh itu. Juga dijelaskan persetujuan antara Mayjen Hawthorn dan Soekarno,
batas-batas di mana pasukan Inggris boleh berada, yang justru dilanggar oleh
Inggris. Surat
itu diantarkan sendiri oleh Roeslan Abdulgani dan Kundan di markas Jl. Jakarta.
Anehnya, begitu surat
dibaca, Mansergh langsung menyerahkan dua buah dokumen, sebagai jawaban yang
rupanya jauh-jauh hari telah disiapkan. Dokumen pertama adalah sebuah ultimatum
kepada bangsa Indonesia di Surabaya dan satunya adalah sebuah surat penjelasan kepada R. Soerjo tertanggal
9 November 1945. Inti surat ultimatum tersebut adalah, agar semua pemimpin
Indonesia termasuk pemimpin gerakan pemuda, kepala polisi dan petugas studio
Radio Surabaya harus melaporkan diri di Bataviaweg menjelang jam 18.00 tanggal
9 November 1945. Mereka harus mendekat dengan berbaris satu per satu dengan
membawa senjata yang dimilikinya. Senjata itu harus diletakkan dalam jarak 100
yard dari tempat pertemuan dan kemudian mereka semua harus mendekat dengan
kedua tangan diletakkan di atas kepala, selanjutnya semua akan ditangkap dan
ditawan. Mereka harus menandatangi dokumen menyerah tanpa syarat.
Sikap rakyat Surabaya
atas ultimatum itu dicerminkan oleh pidato radio Gubernur Soejo hari itu juga
(9 November) pada tengah malam jam 23.00. Antara lain ia berkata,
“….berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: Lebih baik
hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak
Inggris, kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetep menolak ultimaum itu!”
Maka pagi hari tanggal 10 November 1945, Kota Surabaya digempur oleh pasukan
Mansergh dari darat, laut dan udara.
*Suparto Brata, saksi dan pemerhati sejarah 10 November 1945 di Surabaya.
Tidak ada pertempuran yang dilancarkan Republik
yang dapat disebandingkan dengan pertempuran Surabaya itu, baik dalam keberanian maupun
kegigihannya (David Welch dalam Birth of Indonesia, hal. 67)
23 September 1945
Kapten Huijer dari Angkatan Laut Belanda adalah wakil sekutu pertama yang
menjejakan kakinya di Surabaya untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan dan ini
mengindikasikan bahwa Belanda-lah yang akan mempelopori pengambil-alihan
Surabaya dari Jepang setelah ‘kesalahan-kesalahan’ pasukan Inggris ketika
mengambil alih Semarang.
28 September 1945
Huijer mendatangi markas Laksamana Madya Yaichiro Shibata, pimpinan tertinggi
pasukan Jepang di Surabaya, agar melimpahkan seluruh kekuasaannya termasuk
senjata yang berada di bawah komando dirinya kepada Huijer. Namun demikian
sebagaimana sikap kaigun yang lain (seperti Laksamana Maeda di Jakarta),
Shibata sangat simpati dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia oleh karena itu ia
menyerahkan senjata kepada Komite Nasional Indonesia Surabaya (KNI-Surabaya)
yang dipimpin oleh Soedirman dan Doel Arnowo. KNI-Surabaya sendiri berjanji
akan menyerahkannya kepada sekutu pada waktunya.
Tetapi KNI-Surabaya tidak memiliki kemampuan untuk mengelola persenjataan bekas
tentara angkatan laut Jepang sehingga mereka menyerahkannya ke Badan Keamanan
Rakyat (BKR), kelompok-kelompok pemuda, pasukan-pasukan polisi dan bahkan
milisi/laskar yang masih belum terorganisir dengan baik.
1 Oktober 1945
Terjadi perkelahian diantara pemuda-pemuda Indonesia
dan Belanda yang dengan cepat berubah menjadi aksi massa
di seluruh kota.
Mereka menyerang lapangan udara Morokrembangan dan kamp interniran yang
terletak di daerah pemukiman Darmo. Sementara itu markas Kempetai dan Angkatan
Darat Jepang dikepung oleh sejumlah laskar yang bersenjatakan apa adanya, dari
bambu runcing hingga ke senapan mesin.
4 Oktober 1945
Surabaya telah menjadi kamp bersenjata yang
seluruhnya dalam tangan Indonesia.
Semua penjara dibuka dan penghuni-penghuninya, apakah mereka ditahan atas
tuduhan politik atau pidana telah bergabung ke dalam massa
yang berkerumun di dalam kota
itu. Pada hari itu juga Shibata memberitahukan kepada bawahannya bahwa
Huijer-lah yang bertanggung jawab atas keamanan kota tersebut.
8 Oktober 1945
Gubernur, TKR dan polisi berangsur-angsur kehilangan kekuasaannya, yang
kemudian seluruhnya terseret menjadi ‘anarki’. Rasa permusuhan terhadap Jepang
dan Belanda yang begitu mendalam di kalangan pemuda, menyebabkan mereka melaksanakan
pengadilan rakyat yang membabi-buta yaitu dengan menghukum mati para tawanan
(Jepang, khususnya) dengan melakukan hukuman mati dengan cara pemenggalan
leher.
Kapten Huijer pun menjadi tahanan TKR demi keselamatan dirinya.
12 Oktober 1945
Tiba seorang pemuda dari Jakarta
yang bernama Soetomo atau yang kemudian dikenal dengan nama Bung Tomo, seorang
wartawan yang bekerja di kantor berita Domei. Ia membawa gagasan mendirikan
pemancar radio, yang kemudian diberi nama “Radio Pemberontakan” sebagai sarana
untuk menciptakan solidaritas massa
dan memperbesar semangat perjuangan pemuda.
13 Oktober 1945
Bung Tomo membentuk Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI), sebagai
suatu organisasi yang terpisah dari PRI yang dipimpin oleh Soemarsono. Dan
siaran-siaran radio yang dilakukan oleh Bung Tomo tidak hanya berhasil
mempengaruhi masyarakat santri yang memang menjadi mayoritas di Jawa Timur dan
Madura, namun juga pemimpin-pemimpin “merah” terutama yang berada di dalam PRI.
22 Oktober 1945
Nahdhatul Ulama dari seluruh Jawa dan Madura melangsungkan rapat raksasa di
Surabaya yang mana mereka menuntut, “Memohon dengan sangat kepada pemerintah
Republik Indonesia soepaja menentukan soeatoe sikap dan tindakan jang njata
terhadap tiap2 oesaha jang membahajakan agama dan negara Indonesia, terutama
terhadap pihak Belanda dan kaki tangannja” (Antara, 25 Oktober 1945)
25 Oktober 1945
Inggris mendarat di Tanjung Perak Surabya dengan dipimpin oleh Brigadir
Jenderal Mallaby yang juga merupakan Panglima Brigade ke-49 dengan tugas utama
mengungsikan pasukan Jepang dan para interniran. Brigade ini berjumlah kurang
lebih enam ribu pasukan dengan membawa juga pasukan elit Gurkha.
Mallaby sendiri dan wakilnya, Kolonel Pugh, pertama-tama disambut oleh Mustopo,
kepala TKR-Surabaya, dan Atmadji, bekas aktivis Gerindo, yang mewakili TKR
Angkatan Laut. Setelah mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Mustopo,
Mallaby menegaskan bahwa sekutu tidak akan menyelundupkan di tengah-tengah
mereka pasukan Belanda dan NICA (Netherland Indies Civil Administrastion).
26 Oktober 1945
Tanpa data intelejen yang komprehensif tentang kondisi Surabaya dan
masyarakatnya yang sedang bergolak, Mallaby mengirim 1 peleton pasukan yang
dipimpin oleh Kapten Shaw untuk menyelamatkan Kapten Huijer. Masyarakat
Surabaya mulai kehilangan kepercayaan terhadap Mallaby dan pasukannya.
Kondisi diperparah dengan selebaran yang disebarkan melalui udara ke seluruh kota di Surabaya atas
perintah Mayor Jenderal Hawthorn, panglima sekutu di Jakarta. Selebaran itu intinya berisi bahwa
pihak Indonesia
harus menyerahkan seluruh senjata mereka dalam waktu 48 jam. Tuntutan seperti
ini akhirnya membatalkan perjanjian yang telah dilakukan oleh Mallaby dan
Moestopo.
27 Oktober 1945
Sekutu mulai melakukan agresinya. Pada dasarnya komandan-komandan sekutu masih
memandang rendah terhadap kemampuan bangsa Indonesia mempertahankan
kemerdekaannya. Apalagi mereka begitu membanggakan brigade 49-nya dengan
mendapatkan julukan “The Fighting Cock” selama bertempur melawan Jepang di
hutan-hutan Burma.
28 Oktober 1945
Pasukan sekutu mengambil alih lapangan udara Morokrembangan dan beberapa gedung
penting seperti kantor jawatan kereta api, pusat telephon dan telegraf, rumah
sakit Darmo dna lainnya.
Pertempuran besar pun tak terelakan antara 6000 pasukan Inggris dengan 120.000
tentara dan pemuda Indonesia.
Akibat kalah jumlah, Mallaby meminta bantuan Hawthorn agar pihak Indonesia
menghetikan pertempuran. Hawthorn pun meminta Soekarno agar mau membujuk
panglima-panglimanya di Surabaya menghentikan pertempuran.
Begitu terjepitnya hingga dalam buku Donnison “The Fighting Cock” ditulis
“Narrowly escape complete destraction” alias hampir musnah seluruhnya.
29 Oktober 1945
Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoedddin datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
Kemudian setelah membujuk agar tentara dan pemuda menghentikan pertempuran,
mereka bertiga ditambah tokoh-tokoh Surabaya
seperti Soedirman, Soengkono, Soerjo dan Bung Tomo melakukan perundingan dengan
Mallaby dan Hawthorn. Hasil perundingannya adalah tentara sekutu sepakat untuk
mundur dari Tanjung Perak dan Darmo, sementara Indonesia setuju mengizinkan
interniran lewat secara bebas diantara kedua sektor itu.
Setelah melakukan perundingan, Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoeddin kembali ke
Jakarta dengan
menggunakan pesawat terbang dan menganggap kekerasan sudah berakhir.
30 Oktober 1945
Sewaktu melakukan patroli, mobil Buick yang sedang ditumpangi Brigjen Mallaby
dicegat oleh sekelompok milisi Indonesia
ketika akan melewati Jembatan Merah. Karena terjadi salah paham, maka
terjadilah tembak menembak yang akhirnya membuat mobil jenderal Inggris itu
meledak terkena tembakan. Mobil itu pun hangus.
Kematian Jenderal Inggris itu menjadi titik tolak untuk peristiwa-peristiwa
yang lebih dasyat berikutnya. Letnan Jenderal Christinson, komandan Pasukan
Sekutu di Hindia Belanda (AFNEI) memberikan peringatan keras terhadap Indonesia. Ia
kemudian mengirimkan seluruh Divisi Infanteri ke-5 lengkap dengan peralatan
tank ke Surabaya
dibawah pimpinan Mayor Jenderal Mansergh. Kekuatannya berjumlah sekitar 15.000
pasukan.
1 November 1945
Kapal perang HMS Sussex muncul di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Selama
minggu berikutnya sekitar 8000 interniran berhasil dipindahkan ke kapal perang.
9 November 1945
Dengan semua para interniran (sandera) berhasil dibawa pulang, Inggris mulai
melakukan aksi balas dendamnya atas kematian Mallaby. Seperti yang diceritakan
Idrus,
“Sedjak beberapa hari sekoetoe mendaratkan serdadoe2 lebih banyak dan tank-tank
raksasa. Tank-tank itu toeroen dari kapal seperti malaikal maut toeroen dari
langit; diam2 dan dirahasiakan oleh orang jang menoeroenkannja” (Soerabaja,
hal. 137)
Mansergh mengeluarkan ultimatum agar seluruh senjata di Surabaya diserahkan
sebelum jam 06.00 keesokan harinya dan supaya orang-orang Indonesia yang
bertanggung jawab atas tewasnya Mallaby diserahkan. Ultimatum itu disebarkan
melalui udara ke seluruh kota.
Selain itu Mansergh secara eksplisit memperingatkan bahwa semua anak-anak dan
wanita harus sudah meninggalkan kota sebelum pukul 19.00 malam itu dan
memberikan ancaman hukuman mati bagi setiap orang Indonesia yang membawa
senjata sesudah pukul 06.00 pada tanggal 10 November 1945.
Mendengar ultimatum itu para pemimpin Surabaya
menelpon Jakarta
untuk memperoleh keputusan tingkat nasional mengenai jawaban apa yang harus
diberikan terhadap ultimatum Mansergh. Akan tetapi, baik Soekarno maupun
Soebardjo (Menteri Luar Negeri) menyerahkan keputusan itu terhadap masyarakat Surabaya.
Jam 6 sore, elemen TKR dan pemuda menandatangani “Soempah Kebulatan Tekad” yang
isinya,
Bismillah Hirochmanirrachim
SOEMPAH KEBOELATAN TEKAD
Tetap Merdeka !
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia dilaporkan pada tanggal 17 Agustus 1945
akan kami pertahankan dengan soenggoeh-soenggoeh, penoeh tanggoeng djawab, ikhlas
berkorban dengan tekad MERDEKA atau MATI !!!
Sekali merdeka tetap merdeka !
Soerabaja, 9 November 1945
Ttd
(1) TKR Kota
(2) PRI
(3) BPRI
(4) TKR Sidoardjo
(5) BBI
(6) TKR Laut
(7) TKR Peladjar
(8) P.I.
(9) BBM (Barisan Berani Mati)
(10) TKR Modjokerto
(11) TKR Djombang
(12) dll
Dan setelah melakukan diskusi yang cukup panjang dengan seluruh elemen yang ada
di Surabaya, pada jam 23.00 malam Gubernur Soerjo mengumumkan melalui radio
keputusannya bahwa Surabaya akan melawan sampai titik darah penghabisan.
10 November 1945
Pada pukul 06.00 Inggris memulai serangannya, sementara itu Bung Tomo memanggil
seluruh rakyat melawan penyerbu-penyerbu itu. Pemboman besar-besaran dari laut
dan udara membinasakan sebagian besar Surabaya.
Menjelang senja, Inggris telah menguasai sepertiga kota.
Surat kabar Times di London mengabarkan bahwa kekuatan Inggris terdiri dari 25
ponders, 37 howitser, HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, 12 kapal
terbang jenis Mosquito, 15.000 personel dari divisi 5 dan 6000 personel dari
brigade 49 The Fighting Cock.
David Welch menggambarkan pertempuran tersebut dalam bukunya, Birth of
Indonesia (hal. 66),
“Di pusat kota
pertempuran adalah lebih dasyat, jalan-jalan diduduki satu per satu, dari satu
pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda, kucing-kucing serta
anjing-anjing bergelimangan di selokan-selokan. Gelas-gelas berpecahan, perabot
rumah tangga, kawat-kawat telephon bergelantungan di jalan-jalan dan suara
pertempuran menggema di tengah gedung-gedung kantor yang kosong.
Perlawanan Indonesia
berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan
orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian
dengan cara yang lebih terorganisir dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat
buku-buku petunjuk militer Jepang”
Pertempuran berlangsung dengan ganas selama 3 minggu. Pada akhir bulan November
1945 seluruh kota
telah jatuh ke tangan sekutu. Para pejuang Indonesia
yang masih hidup mengikuti ribuan pengungsi yang melarikan diri meninggalkan Surabaya dan kemudian
mereka membuat garis pertahanan baru mulai dari Mojokerto di Barat hingga ke
arah Sidoarjo di Timur.
Menurut Ricklefs (2008) sedikitnya ada 6000 rakyat Indonesia yang gugur. Meski pihak republik
kehilangan banyak tentara dan pemuda, tetapi perlawanan mereka yang bersifat
pengorbanan tersebut telah menciptakan lambang dan pekik persatuan demi
revolusi.
Daftar tokoh Surabaya
Pahlawan Nasional
Tokoh Politik
Tokoh Agama
Ilmuwan/wati
Seniman/wati
Atlet
Pengusaha
Jurnalis
Tokoh asing
- Floris Arntzenius - pelukis Belanda
- Dirk
Lucas Asjes - pilot Belanda
- Rudi Augustinus
- pematung Belanda
- Gordon Barton
- pebisnis dan aktivis politik Australia
- Jo Boer
- penulis Belanda
- Claire Bonebakker
- seniman Belanda
- Pieter
Bouman - pejuang Belanda di masa PD II
- Rudolf Frans Burgwal - pilot dan
pejuang Belanda
- Barend
Abraham Jacob Cohen - ahli forensik Belanda
- Wieteke van Dort
- aktris, pemain kabaret, dan penyanyi Belanda
- Louis
Einthoven - ko-pendiri Nederlandse
Unie
- Willem
Henri Frederik Giel - penerbang Belanda
- Just Göbel -
kiper Belanda
- Giovanni Hakkenberg - tokoh AL Belanda
- Jacob
Pieter van Helsdingen - pilot Belanda
- François Henri Louis Henrichs -
wartawan olahraga Belanda
- Willem
Hojel - ahli artileri Belanda
- Xaviera Hollander - penulis dan mantan pelacur
Belanda
- Govert
Huyser - jenderal AD Belanda
- Johan Ernst Jasper - gubernur Yogyakarta pada masa kolonial
- Johan
Adolph Frederik Kok - pemain sepak bola Belanda
- Henricus
Joannes Eliza van der Kop - penulis Belanda
- Charles Douw van der Krap - perwira AL dan pejuang
Belanda
- Hugo
van Lawick - sutradara Belanda
- Wilhelmus
Frederik van Leeuwen - politikus Belanda
- Rudolph
Lodewijk Martens - walikota Gouda, Belanda
- Herman Meyboom
- pemain polo air Belgia
- Bernardina
Midderigh-Bokhorst - pelukis cat air, ilustrator, grafikus, dan
litograf Belanda
- Johannes Franciscus Alphonsus Marinus Opdam
- dokter dan penjahat Belanda
- Johan Henri Quanjer - pengarang,
filsuf, dan mistikus Belanda
- Beatrix de Rijk
- penerbang wanita Belanda pertama
- Erik Hazelhoff Roelfzema - pejuang,
pilot perang, penyiar radio, dan penulis Belanda
- Meinoud Marinus Rost van Tonningen -
tokoh Nazi Belanda
- Anton
Schrader - mantan anggota Engelandvaarder
- Christiaan
Frederik Staargaard - pejabat dan kolaborator Nazi Belanda
- Kick Stokhuyzen
- presenter Belanda
- Hans Truijen
- seniman Belanda
- Henri
Mari Vis - tokoh militer Belanda
- Bobby
Vosmaer - mantan pemain sepak bola Belanda
- Wang Gungwu
- sejarawan Singapura
- André
Wetzel - mantan pemain sepak bola Belanda